HOME OPINI DIDAKTIKA

  • Senin, 15 Agustus 2022

INTERPRETASI TEKS  ALAM TAKAMBANG JADI GURU

OPini Diah Noverita
OPini Diah Noverita

INTERPRETASI TEKS  ALAM TAKAMBANG JADI GURU

Oleh: Dr. Diah Noverita, M.Hum*

 

Secara umum di dalam kehidupan tiap-tiap etnis dan masyarakat mengandung berbagai macam nasehat yang sangat berguna dalam kehidupan ini. Sumber-sumber nasehat yang berwujud kearifan lokal atau kata-kata adat tersimpan dalam pepatah, peribahasa, ungkapan, dan falsafah/filosofi adat, dan perumpamaan. Begitu juga halnya dengan Minangkabau. Masyarakat Minangkabau mengungkapkan sesuatu sering menggunakan perumpamaan. Perumpamaan adalah kata-kata yang mengungkapkan keadaan atau kelakuan seseorang dengan mengambil perbandingan dari alam sekitar (https://www.kompas.com). Perumpamaan tersebut sangat banyak terbentang terdapat di alam semesta, karena kedekatan masyarakat Minangkabau dengan unsur alam semesta. Perumpamaan banyak terinspirasi dari benda-benda atau peristiwa alam yang dipadukan dengan pemikiran, tingkah laku dan perbuatan manusia.

Untuk memahami objek-objek kearifan lokal minangkabau, diperlukan interpretasi. Interpretasi dipahami sebagai tafsiran, penjelasan, makna, arti, kesan, pendapat, atau pandangan terhadap suatu objek yang dihasilkan dari pemikiran mendalam dan sangat dipengaruhi oleh latar belakang orang yang melakukan interpretasi (Kaelan, 1998). Jadi, interpretasi adalah pemberian pendapat oleh seseorang terhadap sesuatu (objek) berdasarkan sudut pandang keilmuan.

Tidak setiap orang Minangkabau mampu memahami gejala-gejala alam. Pengetahuan untuk memahami tanda-tanda alam memang memerlukan kearifan seseorang. Bagi orang Minangkabau, seseorang dianggap arif kalau mengetahui dan paham maksud tuturan yang tersirat tersebut. Hal ini sesuai dengan “Takilek ikan dalam aia, lah jaleh jantan batinonyo”.

Komunikasi yang baik hanya dapat terjadi apabila di antara orang-orang yang berkomunikasi memiliki makna kata yang sama terhadap satu ucapan. Jika tidak paham dengan kias, seseorang akan dianggap bebal dan tidak tahu di ujung kata (Navis, 1984: 230). Cara berpikir orang Minangkabau bersifat metaforikal (Anwar, 1992: 25). Secara retorika tradisional, metafora yaitu sebuah gambaran yang menunjukkan adanya variasi makna dalam penggunaan suatu kata. Tuturan yang metaforikal memuat filosofi dan merupakan sumber pengetahuan yang dapat bermanfaat sebagai pedoman hidup (Navis, 1984). Sifat dan ciri-ciri alam semesta dimetaforakan ke sifat dan perilaku manusia. Hal ini adalah perwujudan falsafah  Alam Takambang Jadi Guru (Hakimy, 1988: 2).

Alam Takambang Jadi Guru adalah sebuah teks. Teks adalah suatu tatanan dari kata-kata yang berguna untuk memberikan informasi, dan menjelaskan maknanya (https://brainly.co.id).  Jadi, teks adalah kumpulan kata-kata yang mengandung makna tersurat dan tersirat. Falsafah Minangkabau tercipta karena kedekatan manusia dengan unsur alam semesta. Falsafah Alam takambang jadi guru merupakan simbol-simbol penting dalam semua aspek kehidupan manusia. Pengungkapan makna falsafah Minangkabau dapat dibaca berdasarkan konvensi sastranya. Untuk memudahkan pembacaan dan pemahaman terhadap Alam takambang jadi guru, perlu dilakukan pencaharian kata-kata kunci. Kata-kata kunci bersifat hipotesis, kemungkinannya diringkas dalam satu kata dan merupakan alat yang menggerakkan makna sesungguhnya.

Kata-kata kunci pada falsafah Minangkabau Alam takambang jadi Guru yaitu alam, takambang, dan guru. Kata alam dapat dimaknai seluruh unsur-unsur yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan. Manusia memaknai alam sebagai sesuatu yang natural (alami) yang bersumber dari kesadaran betapa luasnya kehidupan ini. Alam semesta atau alam raya yang ada di bumi ini dapat dijadikan pelajaran berharga untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Alam dunia takambang ‘terkembang’, artinya alam ini ada untuk semua manusia dan makhluk ciptaan-Nya, dapat dilihat nyata, dapat dirasakan, terbuka lebar dan luas sejauh mata memandang, manusia dan semua makhluk bergerak dan beraktivitas di alam nyata ini, merasakan hidup sampai mati di alam ini. Hidup di waktu siang dan malam, merasakan suka dan duka. Lain halnya dengan alam akherat. Alam akherat takambang ‘terkembang’ dengan cara tersurat dan tersirat. Alam akherat tersurat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, nyata adanya, bisa dipelajari, dibaca teksnya, dipahami ajarannya dan dipraktekkan perintah-Nya dan dihindari semua larangan-Nya.  Alam akherat tersirat, artinya diperlukan kearifan personal/individu tiap-tiap manusia dan kearifan lokal/ tiap-tiap etnis, suku/tiap-tiap kampung/komunitas dan masyarakat setempat. Kearifan lokal memuat ajaran-ajaran moral kebaikan dan tradisi nenek moyang yang berpondasikan kepercayaan, mitos dan juga keagamaan.

Begitu juga halnya dengan kata  “guru”. Kata “guru” dimaknai sebagai tempat belajar menuntut ilmu. “Guru” dapat juga dimaknai sosok yang sangat penting bagi setiap manusia. Belajar apapun tanpa didampingi oleh “guru”, kita tidak akan dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kondisi Alam Takambang Jadi Guru dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Alam Minangkabau adalah sebagai visualisasi dan ilustrasi yang berkaitan dengan falsafah Alam takambang jadi guru. Alam adalah sebagai tempat belajar manusia. Sifat-sifat alam yang ada disekitar manusia, seperti cuaca cerah, udara yang bersih dan sejuk, pemandangan yang indah, laut yang biru, tanaman (pohon, rerumputan yang hijau dan segar) adalah bukti bahwa alam diciptakan tuhan untuk manusia dan makhluk hidup lainnya. Alam dan isinya adalah tanda-tanda bahasa yang harus dipahami manusia.

Orang Minangkabau harus dinamis dan bisa belajar dari alam, dapat menyesuaikan dan mengembangkan diri dimana saja ia berada, baik di rantau dan di kampung halaman. Orang Minangkabau diharapkan untuk bisa menjadi  rahmatan lil alamin.

Marwoto (2004) menyatakan salah satu fungsi falsafah adat adalah untuk menyegarkan arah simpul gagasan seseorang. Falsafah adat sebagai sesuatu yang diekspresikan berfungsi normatif dengan sanksi-sanksi hukum, sosial, psikologis, fisik, material dan pesan-pesan. Pesan-pesan yang disampaikan itu bernuansa moral, pesan etnik, religi, bisa juga berupa larangan, pengajaran, pesan mitos, keteladanan, dan imbauan.

Witdarmono (2004) menyatakan setiap falsafah adat lokal selalu mengandung sebuah latar belakang sejarah, sastra dan bahasa. Dari sisi tertentu, menjadi sebuah gambar dan simpul dari berbagai peristiwa politik, militer, hukum, kebudayaan, kesenian, sosial dan bahkan penemuan ilmu. Dari sisi pergaulan antar manusia, sering juga menjadi gambaran dari sebuah kearifan masyarakat lokal, situasi kejiwaan serta keyakinan keagamaan.

Setiap falsafah adat selalu terdapat unsur-unsur sebuah pengalaman universal, pengalaman yang dirasakan oleh setiap manusia. Dimana pun ia berada, lingkungan dan sejarah setempatlah yang membuat falsafah adat sangat penting untuk diketahui dan dipraktekkan sehingga suasana kehidupan yang harmonis  dapat dirasakan bersama-sama manfaatnya.  

*(Dosen SastraMinangkabau FIB Unand)


Tag :#Opini #Didaktika #Diah Noverita

Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News

Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com